Hukum Meninggalkan Shalat Jum'at Bagi Musafir
Hukum Meninggalkan Shalat Jum'at Bagi Musafir - Shalat Jumat Merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim pria yang sudah baligh kecuali ketika dia lagi sakit dan sakitnya, sakit menurut syara yaitu sakit yang di ponis oleh dokter bila dia banyak gerak seolah-olah sholat jumat maka akan membahayakan dirinya meskipun begitu tetap harus mengerjakan sholat dzuhur karena dalam sholat wajib walaupun sakit tetap harus di kerjakan semasih akal dan pikiran dan hatinya masih sehat, sebagaimana di sebutkan dalam firman alloh yang tertera dalam satu surat yang bunyinya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya : Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu kalau kamu mengetahui (AL-JUMUAH : 9).

Dan juga shalat jum’at menjadi salah satu momentum pertemuan antara umat muslim dalam sebuah komunitas muslim lainnya. diharapkan pertemuan fisik ini dapat menambah kwalitas ketaqwaan dan keimanan umat muslim dan mempererat tali silaturahmi antar sesama. lantaran itulah shalat jum’at di awali dengan khutbah yang berisi berbagai mauidhah. Di samping itu secara sosiologis sholat jum’at hendaknya menjadi satu media syi’ar Islam yang menunjukkan betapa besar dan kuwat persatuan umat.
Yang menjadi permasalahan di sini bagaimana hukum sholat jumat bagi musafir atau orang-orang yang sedang ada di perjalanan seperti di rasakan oleh kita ketika bepergian apalagi menggunakan kendaraan umum kadang kita mampu menawar kepada si sopir untuk melaksanakan sholat jum'at, nah disi lah salah satu kemurahan dari agama islam yang selalu memberikan dispensasi atau rukhsoh kpd umatnya ter masuk pada hal-hal yang wajib yang bersangkutan dengan peribadahan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya : Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu kalau kamu mengetahui (AL-JUMUAH : 9).

Dan juga shalat jum’at menjadi salah satu momentum pertemuan antara umat muslim dalam sebuah komunitas muslim lainnya. diharapkan pertemuan fisik ini dapat menambah kwalitas ketaqwaan dan keimanan umat muslim dan mempererat tali silaturahmi antar sesama. lantaran itulah shalat jum’at di awali dengan khutbah yang berisi berbagai mauidhah. Di samping itu secara sosiologis sholat jum’at hendaknya menjadi satu media syi’ar Islam yang menunjukkan betapa besar dan kuwat persatuan umat.
Yang menjadi permasalahan di sini bagaimana hukum sholat jumat bagi musafir atau orang-orang yang sedang ada di perjalanan seperti di rasakan oleh kita ketika bepergian apalagi menggunakan kendaraan umum kadang kita mampu menawar kepada si sopir untuk melaksanakan sholat jum'at, nah disi lah salah satu kemurahan dari agama islam yang selalu memberikan dispensasi atau rukhsoh kpd umatnya ter masuk pada hal-hal yang wajib yang bersangkutan dengan peribadahan.
Hukum shalat jum'at bagi musafir atau orang yang sedang berada dalam perjalanan ada beberapa ketentuan jarak tempuh. Tidak semua yang bepergian meninggalkan rumah bisa dianggap musafir. Sebagian ulama berpendapat bahwa seorang dianggap musafir apabila jarak perjalanan yang ditempuh mencapai 90 km, yaitu jarak diperbolehkannya meng-qashar shalat. Itupun dengan catatan perjalanannya bersifat mubah yang di benarkan oleh agama bukan untuk maksiat dan sudah berangkat dari rumah sebelum fajar terbit.
Hukum shalat jum'at bagi musafir
Pertama: Seorang musafir tidak punya kewajiban untuk mendirikan shalat Jum’at, ia tidak punya kewajiban untuk mendirikan shalat Jum’at pada saat ia safar, ia juga tidak punya keharusan shalat ketika ia berada di jalan. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan shalat Jumat ketika safar. Dan tidak ada yang pernah mengetahui dia melaksanakannya. Yang dimaksud dalam bahasan kita adalah musafir mendirikan shalat Jumat sendiri. Ini terang tidak dituntunkan. jika para musafir mendirikan shalat Jumat bersama mereka sendiri, maka shalatnya tidak sah berdasarkan pendapat empat madzhab.
Kedua: kalau mereka bisa melakukan shalat Jum’at karena mengikuti orang lain yang dikenai kewajiban Jum’at. Untuk kondisi era ini, para ulama berselisih pendapat. Ada yang menganggap wajib Jum’at dan jama’ah. Ada yang menyatakan tidak wajib Jum’at dan tidak wajib Jama’ah. jika musafir dikenakan kewajiban untuk berjama’ah lantaran mendengar adzan Jum’at, maka di sini pun mereka masih diberi keringanan, tidak sebagaimana orang mukim. kalau punya udzur, seakan-akan kecapekan dan butuh istirahat, maka ia boleh tidak hadir Jum’at
kan tetapi dispensasi ini tidak berlaku jika status seorang musafir telah berbah menjadi mukim. Yaitu dengan berniat menetap ditempat tujuan selama minimal empat hari. Misalkan bila seorang dari Surabaya pergi ke Jakarta lalu niat menginap di rumah sanak famili selama lima hari, maka tidak berlaku lagi baginya keringanan bepergian . Maka dia tidak diperbolehkan meninggalkan shalat jum’at, jama’ atau qashar shalat. Begitu pula bila seseorang berniat mukim saja tanpa tahu batas waktunya secara pasti, maka hukumnya sama dengan bermukim empat hari. contohnya ketika seseorang dari Jawa Timur merantau ke Jakarta, dengan niat mencari pekerjaan yang dia sendiri tidak tahu pasti kapan dia menerima pekerjaan tersebut. Maka dalam kacamata fiqih ia telah dianggap sebagai mukimin di Jakarta dan wajib mengikuti shalat Jum’at bila tiba waktunya.
Oleh lantaran itu untuk menentukan seorang sebagai musafir perlu ditentukan beberapa hal. Pertama jarak jauhnya harus telah mencapai masafatul qasr (kurang lebih 90 km). Kedua, tujuannya bukan untuk ma’syiat. Ketiga, mengetahui jumlah hari selama berpergian sebagai wisatawan yang hanya singgah satu atau dua hari, ataukah untuk studi atau bekerja yang lamanya sudah barang tentu diketahui (1 semester, 2 tahun dst) ataukah untuk satu urusan yang waktunya tidak diketahui dengan pasti. Semua ada aturan masing-masing.
Nah itulah yang mampu kami bahas kali ini wacana shalat jum'at bagi musafir dan mudah-mudahan pembahasan ini bermanfaat bagi kita semu apalagi begi orang yang sedang ada di perjalanan.
Hukum shalat jum'at bagi musafir
Pertama: Seorang musafir tidak punya kewajiban untuk mendirikan shalat Jum’at, ia tidak punya kewajiban untuk mendirikan shalat Jum’at pada saat ia safar, ia juga tidak punya keharusan shalat ketika ia berada di jalan. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan shalat Jumat ketika safar. Dan tidak ada yang pernah mengetahui dia melaksanakannya. Yang dimaksud dalam bahasan kita adalah musafir mendirikan shalat Jumat sendiri. Ini terang tidak dituntunkan. jika para musafir mendirikan shalat Jumat bersama mereka sendiri, maka shalatnya tidak sah berdasarkan pendapat empat madzhab.
Kedua: kalau mereka bisa melakukan shalat Jum’at karena mengikuti orang lain yang dikenai kewajiban Jum’at. Untuk kondisi era ini, para ulama berselisih pendapat. Ada yang menganggap wajib Jum’at dan jama’ah. Ada yang menyatakan tidak wajib Jum’at dan tidak wajib Jama’ah. jika musafir dikenakan kewajiban untuk berjama’ah lantaran mendengar adzan Jum’at, maka di sini pun mereka masih diberi keringanan, tidak sebagaimana orang mukim. kalau punya udzur, seakan-akan kecapekan dan butuh istirahat, maka ia boleh tidak hadir Jum’at
kan tetapi dispensasi ini tidak berlaku jika status seorang musafir telah berbah menjadi mukim. Yaitu dengan berniat menetap ditempat tujuan selama minimal empat hari. Misalkan bila seorang dari Surabaya pergi ke Jakarta lalu niat menginap di rumah sanak famili selama lima hari, maka tidak berlaku lagi baginya keringanan bepergian . Maka dia tidak diperbolehkan meninggalkan shalat jum’at, jama’ atau qashar shalat. Begitu pula bila seseorang berniat mukim saja tanpa tahu batas waktunya secara pasti, maka hukumnya sama dengan bermukim empat hari. contohnya ketika seseorang dari Jawa Timur merantau ke Jakarta, dengan niat mencari pekerjaan yang dia sendiri tidak tahu pasti kapan dia menerima pekerjaan tersebut. Maka dalam kacamata fiqih ia telah dianggap sebagai mukimin di Jakarta dan wajib mengikuti shalat Jum’at bila tiba waktunya.
Oleh lantaran itu untuk menentukan seorang sebagai musafir perlu ditentukan beberapa hal. Pertama jarak jauhnya harus telah mencapai masafatul qasr (kurang lebih 90 km). Kedua, tujuannya bukan untuk ma’syiat. Ketiga, mengetahui jumlah hari selama berpergian sebagai wisatawan yang hanya singgah satu atau dua hari, ataukah untuk studi atau bekerja yang lamanya sudah barang tentu diketahui (1 semester, 2 tahun dst) ataukah untuk satu urusan yang waktunya tidak diketahui dengan pasti. Semua ada aturan masing-masing.
Nah itulah yang mampu kami bahas kali ini wacana shalat jum'at bagi musafir dan mudah-mudahan pembahasan ini bermanfaat bagi kita semu apalagi begi orang yang sedang ada di perjalanan.
0 Komentar Untuk "Hukum Meninggalkan Shalat Jum'at Bagi Musafir"
Posting Komentar